Senin, 31 Mei 2010

MASJID KITA

BAB I

M A S J I D

Masjid Sebagai Sumber Cahaya Allah

Buku tentang manajemen masjid ini disusun berdasarkan tesis utama bahwa kehidupan manusia di dunia ini membutuhkan pertolongan Allah SWT, membutuhkan aliran cahaya Allah untuk menerangi dunia dan hati umat manusia, membutuhkan aliran energi Allah agar umat manusia dapat memecahkan banyak masalah dalam kehidupan di dunia ini.

Bahwa untuk dapat mengakses cahaya da energi Allah secara efisien dan efektif, maka dibangunlah masjid karena masjid merupakan sumber cahaya dan energi Allah. Oleh karena itu, adalah wajar jika umat Islam di seluruh dunia sangat berkepentingan untuk mengelola dan menangani manajemen masjid dengan baik agar setiap manusia muslim dapat mengakses cahaya dan energi Allah ke dalam dirinya. Penataan manajemen masjid yang tepat dan ideal akan berdampak sangat positif bukan hanya bagi diri individu manusia muslim yang beribadah di dalam masjid, tetapi juga berpengaruh positif bukan hanya bagi diri individu manusia muslim yang beribadah di dalam masjid, tetapi juga berpengaruh positif bagi lingkungan sekitar masjid.

Masjid disebut sebagai sumber cahaya dan energi Allah karena ia menjadi tempat beribadah—terutama ibadah shalat, membaca al-Qur`an dan dzikrullah—yang melalui media ibadah tersebut, umat Islam dapat mengakses cahaya dan energi Allah ke dalam diri mereka.

Secara harfiah (etimologi), masjid berasal dari bahasa Arab sajada (bentuk tsulatsi mujarrod) yang mendapat imbuhan huruf Mim (menjadi ism al-makan=nama tempat) yang berarti tempat bersujud (kepada Allah SWT) berupa bangunan fisik masjid. Secara ishtilahi (terminologis), berarti bahwa setiap jengkal tanah di bumi ini adalah masjid. Dibolehkan mendirikan ibadah shalat di luar bangunan fisik masjid seperti di kantor, lapangan, tepi sungai sejauh hal itu memenuhi syarat kebersihan yang ditetapkan oleh hukum fiqh. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap bagian dari bumi Allah adalah tempat sujud (masjid”. (HR. Muslim)

Masjid menduduki tempat istimewa dalam ajaran Islam karena masjid adalah Baitullah (Rumah Allah) yang menjadi tempat “pertemuan langsung” antara umat Islam dengan Allah SWT, melalui media shalat, menjadi tempat mencurahkan isi hati, kerinduan, dan harapan umat kepada Allah. Allah SWT Yang Maha Rahim telah memberikan Kemurahan-Nya dengan menyediakan “Guest-House”-Nya di bumi ini agar hamba-hamba-Nya dapat dengan mudah bertemu dan beraudiensi langsung dengan-Nya kapan saja diinginkan. Masjid benar-benar menjadi oase tempat bernaung dan berteduh, baik secara lahir maupun batin, dari keruwetan dan kesumpekan dunia.

Ketika umat Islam mendirikan shalat berjamaah, maka Allah mengalirkan cahaya (energi) Ilahiah-Nya kepada masing-masing jamaah. Ibadah shalat menjadi media utama guna mengakses energi Ilahiah ini. Semakin sering para jamaah mendirikan ibadah shalat, berarti semakin banyak mereka mengakses dan menampung energi Ilahiah ini ke dalam diri mereka. Bukti konkret aliran energi Ilahiah ini dalam diri manusia muslim adalah berupa perasaan gembira, fisik yang segar dan wajah berseri-seri serta mental yang sehat dan kuat yang menjadi modal berharga guna menghadapi masalah-masalah duniawi yang menguras energi fisik dan mental.

Keutamaan dan keistimewaan mendirikan shalat di dalam masjid adalah mempermudah proses mengakses cahaya dan energi Allah ini ke dalam diri sang hamba karena masjid menjadi pusat ibadah sehingga dapat menjadi sumber dan pusat pengumpulan cahaya dan energi Allah sehingga siapa pun dari hamba Allah yang mendirikan shalat, membaca al-Qur`an dan berzikir, maka akan dengan cepat dapat mengakses cahaya dan energi Allah ini. Karena alasan inilah kita umat Islam memahami sabda Rasulullah yang sangat menganjurkan umatnya agar mendirikan shalat berjamaah di masjid.

Sebagai sumber cahaya dan energi Allah, masjid tentu saja memancarkan cahaya dan energi Allah kepada lingkungan sekitarnya, dalam batas radius tertentu, sehingga hubungan antara satu masjid dengan masjid lain lebih merupakan jaringan sumber cahaya dan energi Allah yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam konteks seperti inilah dibutuhkan hukum syari`ah yang mengatur pembangunan masjid-masjid ini agar tidak terlalu berdekatan atau tidak terlalu berjauhan satu sama lain. Dalam kalimat lain, dapat dikatakan bahwa masjid-masjid di seluruh planet bumi ini merupakan pondasi-pondasi rohani (spiritual) yang fungsi utamanya adalah menjaga dan memelihara keseimbangan alam (kosmos) yang ditandai dengan kehidupan masyarakat yang harmonis, tenteram dan sejahtera. Selama masjid masih terus menjadi sumber cahaya dan energi Allah, maka akan selalu lahir keharmonisan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Syarat utama agar sebuah masjid dapat terus memelihara dan mempertahankan predikatnya sebagai sumber cahaya dan energi Allah adalah menyemarakkan masjid dengan banyak kegiatan ibadah terutama shalat, membaca al-Qur`an dan dzikrullah yang merupakan ibadah primer dalam mengakses cahaya dan energi Allah. Secara spiritual, masjid yang benar-benar berfungsi sebagai sumber cahaya dan energi Allah ini ciri utamanya adalah mudah terkabulnya do`a yang dipanjatkan oleh seorang hamba Allah, menyediakan suasana spiritual yang kondusif bagi terselenggaranya ibadah shalat yang khusyu`. Hamba allah yang melangsungkan ibadah shalatnya di dalam masjid seperti ini diliputi oleh rasa damai dan tenteram yang luar biasa sehingga ia betah berlama-lama dalam shalatnya, sehingga ia merasa tidak ingin meninggalokan masjid karena tindakan ini akan memutus rasa damainya dalam beraudiensi dengan Allah
***
Berdasarkan kajian sejarah, masjid di zaman Rasulullah tidak hanya digunakan untuk tempat ibadah shalat saja, tetapi lebih luas lagi digunakan juga sebagai pusat kegiatan umat Islam, tempat mengajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilmu sosial, budaya, ekonomi, terutama ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu al-Qur`an. Masjid menjadi lahan subur bagi pengembangan dan pembinaan umat Islam, baik yang menyangkut praktik-praktik ibadah maupun praktik-praktik sosial-budaya dan agama Islam.

Dengan demikian, masjid mempunyai peran sentral dan strategis bagi kemajuan umat Islam yang berdampak sangat positif baik baik bagi umat Islam khususnya maupun perkembangan agama Islam pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa masjid merupakan “Islamic Center” dalam arti yang sesungguhnya dan bahwa pendirian Islamic Center dimanapun berada harus menempatkan masjid sebagai pusat bagi kegiatan-kegiatan yang Islami. Oleh karena itu, wajar apabila umat Islam di seluruh dunia mempunyai perhatian sangat besar dalam hal tata cara pengelolaan dan manajemen masjid. Masjid harus kita makmurkan sesuai firman Allah dalam Q.S. at-Taubah ayat 18 yang berbunyi:

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS at- taubah ; 18)

Penerapan manajemen masjid yang tepat dan memadai akan sangat menguntungkan bagi pemahaman dan pendalaman ajaran-ajaran Islam oleh masing-masing individu yang tergabung dalam jamaah masjid maupun umat Islam pada umumnya yang menjadi dasar berpijak yang kokoh bagi pengembangan dan kemajuan umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia.



Masjid dan Kelahiran Ummah

Dalam pembahasan sejarah Islam, pembangunan dan pendirian masjid Nabawi sangat terkait dengan kelahiran ummah, demikian juga sebaliknya, ummah tidak dapat dipisahkan dari masjid. Keduanya, masjid dan ummah, menandai sebuah era baru, kesadaran baru dalam beragama yang tidak lagi menganut paham banyak dewa-dewi tapi berubah menjadi penganut agama tauhid (monotheis) bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Bahwa ummah adalah sebuah komunitas spiritual yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai way of life, sehingga mempunyai komitmen sakral dan pertanggungjawaban transendental (ukhrawi). Ummah adalah hubungan persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) antara sesama penganut agama Islam yang melampaui berbagai ikatan etnis, sosial-budaya, dan politik. Sebaliknya, ummah mengintegrasikan berbagai ikatan dan batasan itu menjadi kekuatan yang menyatu yang menyimbolkan kesatuan dengan Allah SWT.

Tujuan ummah dalam kehidupan di dunia ini adalah untuk beribadah (ibadah=pengabdian) kepada Allah, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Ibadah atau pengabdian kepada Allah oleh ummah ini didasarkan pada statusnya sebagai hamba Allah yang tidak memiliki apa pun di dunia ini kecuali yang diamanatkan oleh Allah kepadanya. Sebagai hamba, ummah hanya menjalankan kehendak Allah, qona`ah dalam menerima semua skenario Allah untuk dirinya. Sebagai hamba Allah, ummah tidak mempunyai kehendaknya sendiri. Ia menjalankan tugas duniawinya berdasarkan bimbingan dan petunjuk (hidayah) persetujuan dan keridhaan dari Allah. Jadi, ummah merupakan komunitas yang berbasiskan hidayah Allah (Spiritual Based Community) yang tidak memiliki egonya sendiri atau tidak dikuasai oleh nafsu lawwamah dan nafsu ammarah, oleh karena itu, Allah SWT menganugerahi ummah dengan an-Nafs al-Muthmainnah, yaitu jiwa yang tenang dan damai.

Berdasarkan gambaran di atas, maka ummah---dalam segala sepak terjangnya di kehidupan dunia ini—selalu mengupayakan proses idealisasi nilai yang berarti bahwa semua yang direncanakan dan dilakukan di dalam hidup ini harus bersandarkan pada ajaran Islam yang ideal. Semua aspek dalam hidup ini, sosial, budaya, politik, pendidikan, ekonomi, haruslah sejalan dan searah dengan ajaran Islam. Kehidupan duniawi ummah harus tunduk dan patuh pada perintah Allah. Jadi, Kehidupan duniawi harus di-Islam-kan. Langkah pertama dalam mewujudkan dan mempraktikkan nilai-nilai ideal agama Islam dalam kehidupan dunia berawal dari masjid; masjid menjadi pusat realitas dan pusat kehidupan ummah. Ummah memandang dunia ini sebagai perluasan dari masjid. Dalam kalimat yang lebih tegas, dunia ini merupakan Islamic Center.

Dalam wilayah yang lebih terbatas, Islamic center adalah perkampungan dari individu-individu ummah dimana masjid berada di pusat ruang yang dikelilingi oleh hunian ummah---yang dapat berupa pemukiman penduduk, pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, dan lain-lain---sehingga semua rumah hunian ini mempunyai jarak yang relatif dekat dengan masjid. Jika sebuah masjid tidak dapat lagi menampung para jamaah, maka didirikanlah masjid bar yang menjadi Islamic Center yang baru pula yang dikelilingi oleh hunian ummah dengan mempertimbangkan jarak ideal antara satu masjid dengan masjid lain. Demikian seterusnya sehingga terdapat jaringan hubungan antar masjid-masjid di suatu wilayah dimana takmir-takmir dari semua masjid saling bermusayawarah, berinteraksi, berbagi ide dan prestasi tentang berbagai masalah dan tantangan yang sedang dihadapi. Pola penataan ruang yang Islami seperti inilah yang hendaknya diupayakan oleh setiap individu ummah di seluruh dunia. Tata ruang seperti ini adalah sangat khas Islam yang tidak terdapat dalam ajaran agama-agama lain maupun dalam tradisi dan budaya manapun di dunia ini kecuali dalam tradisi komunitas muslim.

Jadi, dasar utama bagi proses Islamisasi kehidupan ini adalah perolehan hidayah Allah. Hidayah Allah menjadi pijakan awal guna merengkuh samudera rahmat Allah. Hidayah Allah menjadi pintu masuk bagi ummah sehingga Allah dapat mewariskan bumi beserta segala isinya ini kepada ummah. Seluruh episode kehidupan di era Rasulullah, terutama periode Madinah, penuh dengan contoh tentang anugerah hidayah Allah, baik hidayah Allah yang dianugerahkan kepada diri Rasulullah maupun kepada para sahabat. Hidayah pertama kali yang dianugerahkan kepada diri Rasulullah begitu tiba di kota Madinah saat berhijrah adalah tentang pendirian masjid! Ketika para sahabat Anshar mengelu-elukan kedatangan Rasulullah dan saling berebut satu sama lain agar Rasulullah berkenan untuk bertempat tinggal di umah salah seorang di antara mereka, maka Rasulullah membiarkan Qoswa, unta kesayangannya, bebas berjalan sendiri tanpa dikekang yang diikuti oleh para sahabat Anshar di belakangnya, hingga akhirnya Qaswa terduduk pada lututnya di luar toko kurma milik dua yatim bersaudara, dan unta itu menolak bergerak. Rasulullah kemudian turun dari punggung unta, mengizinkan barang bawaannya dibawa ke rumah terdekat, dan mulai bernegosiasi dengan kedua bersaudara itu untuk membeli tanah mereka. Setelah menemukan kesepakatan harga, Rasulullah segera memerintahkan pembangunan masjid yang diberi nama masjid Nabawi.

Masjid Nabawi inilah yang melahirkan ummah yang patuh pada perintah Allah dan Rasul-Nya sehingga dianugerahi Allah kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan emosional (WQ), dan kecerdasan intelek (IQ). Indikasi utama kecerdasan spiritual ummah adalah kemudahan dalam menerima hidayah Allah, ummah begitu dekat dengan Allah sehingga selalu berada dalam bimbingan-Nya. Setiap kali ummah menghadapi masalah pelik, maka Allah menganugerahkan hidayah-Nya. Ketika Rasulullah dan para sahabat bermusyawarah di dalam ruang masjid Nabawi tentang penanda tibanya waktu shalat, muncul beberapa ide seperti menggunakan terompet dari tanduk biri-biri jantan seperti tradisi u Yahudi dan lonceng kayu seperti yang digunakan oleh umat Kristen Ortodoks. Namun, salah seorang sahabat Muhajirin menceritakan mimpinya: seorang laki-laki memakai jubah hijau berkata kepadanya bahwa cara terbaik untuk memanggil ummah untuk mendirikan shalat adalah melalui suara laki-laki dengan cara menyerukan “Allahu Akbar!” dua kali untuk mengingatkan ummah bahwa Allah lebih tinggi dibandingkan dengan semua dewa, kemudian dilanjutkan dengan: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” dan seterusnya. Semua yang hadir menyetujui ide cemerlang ini dan Rasulullah menunjuk Bilal sebagai muazin.

Ketika pada tahun 5 Hijrah, umat Islam menghadapi salah satu masalah paling sulit dalam perjalanan sejarah Islam: beberapa suku Yahudi Madinah telah melanggar perjanjian damai untuk tidak saling memerangi antar sesama penduduk Madinah dengan beraliansi dengan suku-suku Arab dibawah komando Quraisy. Sebuah aliansi raksasa yang akan dengan mudah dapat mengalahkan kekuatan umat Islam. Dalam situasi sangat genting ini, Allah memberikan hidayah-Nya melalui ide jenius Salman al-Farisi---yang pernah menjadi tentara kerajaan Persia---untuk menggali parit di sekeliling kota Madinah guna membendung gerak maju pasukan aliansi dan berkat intervensi Allah yang menurunkan bala tentara langit dan angin puyuh yang menghempaskan kemah-kemah pasukan aliansi, maka umat Islam memperoleh kemenangan. Singkat kata, umat Islam generasi awal ini sering memperoleh hidayah berkat ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Jika ditelusuri secara cermat, dapat dikatakan bahwa perolehan hidayah Allah ini bermula dari ketekunan dan kedisiplinan ummah untuk mendirikan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid, sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya. Al-Qur`an banyak memuat perintah untuk mendirikan shalat lima waktu yang wajib, shalat tahajjud dan shalat wustho, ditambah dan diperkuat dengan banyak hadts nabi yang mewajibkan shalat dan memakmurkan masjid yang pada hakikatnya menyatakan bahwa masjid itu adalah pusat dunia. Ibarat tubuh, maka masjid adalah organ jantung yang terus berfungsi selama 24 jam memompa darah segar dari saringan ginjal ntuk diedarkan ke seluruh organ tubuh yan membuat mereka dapat berfngsi secara normal.

Ummah memperoleh hidayah Allah terutama melalui ibadah shalat, karena melalui ibadah shalatlah ummah berada paling dekat bahkan melebur dengan Allah. Kedekatan hubungan dengan Allah melalui ibadah shalat ini kemudian mengembang dan meresapi seluruh aspek kehidupan duniawi ummah. Semua persoalan yang ditimbulkan oleh aspek-aspek kehidupan duniawi ummah dicarikan solusinya dengan secara aktif memohon hidayah yang selalu melibatkan ibadah shalat di dalamnya.

Shalat Sebagai Anugerah Istimewa

Shalat






FUNGSI MASJID DARI ZAMAN KE ZAMAN

1. Fungsi Masjid pada Zaman Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang menyembah berhala. Mereka menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan mereka. Mereka juga mempercayai adanya pengaruh bintang (astrologi) terhadap perilaku individu seseorang. Dalam situasi dan konteks seperti inilah Allah mengutus Ibrahim untuk mendakwahkan wahyu Allah dan menyadarkan mereka dari kesesatan. Tetapi upaya Nabi Ibrahim ini tidak disambut dengan baik, bahkan ia dihukum berat dengan cara dilemparkan ke tengah gunungan kayu yang mengobarkan api raksasa. Karena ketundukan dan kepatuhan total Nabi Ibrahim kepada Allah, maka Allah menanamkan rasa ringan dalam menghadapi semua hukuman dan siksaan, bahkan Nabi Ibrahim sama sekali tidak merasakan panas api yang berkobar karena Allah telah memerintahkan api untuk menjadi dingin terhadapnya. Kedekatan (taqorrub) hubungan Nabi Ibrahim dengan Allah SWT telah membuat dirinya ditunjuk sebagai seorang pemimpin.

Ketika Nabi Ibrahim mencapai usia senja (80 tahun) dan belum juga dikaruniai seorang anak guna meneruskan misi dakwahnya yang belum selesai, ia diliputi perasaan gelisah. Keadaan inilah yang membuat Ibrahim tekun berdo`a memohon kepada Allah agar dikaruniai anak. Allah telah menjelaskan kisah Nabi Ibrahim ini dalam surat al-Baqarah ayat 124-129:

“Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimah (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “Dan saya mohon juga dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim”.

Dan ingatlah ketika Kami menjadikan Rumah (Baitullah) ini tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang yang thawaf, I`tikaf, yang ruku` dan yang sujud”.

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang kafir pun Kami berikan kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Dan ( ingatlah ) ketika Ibrahim meninggikan (membina dasar-dasar Baitullah bersama Isma`il (seraya berdo`a) “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk, patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Beberapa hikmah yang bisa diambil dari ayat-ayat di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa Nabi Ibrahim sepenuhnya tunduk dan patuh pada segala aturan Allah sehingga Allah menjadikannya seorang pemimpin (Imam).
Kedua, sebagai pemimpin, Nabi Ibrahim selalu merindukan anak cucunya kelak juga dapat menjadi pemimpin yang mampu meneruskan dakwah beliau.
Ketiga, agar harapan-harapan di atas dapat terwujud dan terkabul, maka beliau senantiasa tekun berdo`a kepada Allah dan berupaya mendirikan Baitullah (masjid) sebagai tempat berkumpul umat manusia, tempat berlindung yang aman (dari berbagai kejahatan dan maksiat), tempat shalat, thawaf, ruku` dan sujud, dan tempat untuk membina kader pemimpin umat.
Keempat, kualifikasi ta`mir masjid hendaknya mencakup criteria-kriteria seperti tunduk dan patuh sepenuhnya kepada Allah SWT, memahami secara mendalam tujuan didirikannya masjid, mempunyai kemampuan untuk mengelola dan memenej masjid.
Kelima, Hendaknya organisasi takmir masjid mengkombinasikan antara generasi tua dan muda sekaligus.

2. Fungsi Masjid pada Zaman Rasulullah SAW dan Khulafa` ar-Rasyidin

Rasulullah SAW telah memberi teladan mulia kepada umatnya agar memprioritaskan masjid---hendaknya bangunan pertama yang didirikan adalah masjid sebelum mendirikan perumahan atau bangunan-bangunan lain, hendaknya masjid terletak di lokasi yang strategis, berada di tengah rumah-rumah penduduk, hendaknya dalam membeli rumah baru agar berdekatan jaraknya dengan masjid, dan lain-lain.

Dalam perjalanan hijrah ke Madinah al-Munawwarah, Rasulullah SAW singgih untuk sementara waktu di sebuah desa bernama Quba`, disana Rasulullah bersama beberapa sahabat yang menyertai hijarah beliau, bersama-sama membangun sebuah bangunan masjid yang amat sederhana yang kemudian terkenal dengan nama masjid Quba`. Demikian pula ketika telah tiba di kota Yatsrib (nama lama sebelum diubah menjadi Madinah al-Munawwarah), yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah adalah juga membangun masjid yang terkenal dengan sebutan masjid Nabawi.

Struktur dari bangunan-bangunan masjid pada masa Rasulullah ini masih sangat sederhana yang terdiri dari batang-batang pohon kurma sebagai tiang-tiang masjid, dinding-dinding dari batu-bata yang direkatkan dengan Lumpur sebagai semen perekat dan ranting ranting pohon kurma sebagai atap yang dilapisi pelepah dauh kurma sebagai atap pelindung dari terik panas matahari.

Semula, masjid Nabawi ini hanya berukuran 30 x 35 m. Pada tahun ke-7 Hijrah, diperluas menjadi 50 x50 m. Perluasan demi perluasan terus dilakukan sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz hingga abad 20 ini. Sekarang (tahun 2000-an), masjid Nabawi tidak lagi sederhana, melainkan sangat mewah, sangat indah dan sangat luas. Lantai bawah masjid seluas 98.000 meter persegi dapat menampung sekitar 167.000 jamaah shalat. Lantai atas seluas 67.000 meter persegbi dapat menampung sekitar 650.000 jamaah shalat. Struktur bangunannya juga sangat kokoh dengan cita rasa seni adiluhung berikut pendingin AC yang dipasang pada setiap pot marmer di kaki-kaki pilar yang jumlah totalnya mencapai 2.104 pilar. (Lihat. A. Junaidi Halim 1997, hal. 57-61).

Masjid Nabawi pada era Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin benar-benar berfungsi sebagai Islamic Center, baik sebagai tempat untuk menyelenggarakan praktik-praktik ibadah mahdoh maupun bagi kegiatan-kegiatan sosial, budaya, dan politic.

Sebagai Islamic Center, maka masjid Nabawi ketika itu berfungsi sebagai: sosial-budaya: sebagai media pembinaan umat, tempat musyawarah yang membahas dan mendiskusikan urusan-urusan kemasyarakatan. Politik : menyusun strategi politic dan peperangan. Hubungan Internasional: sebatgai tempat menerima tamu-tamu penting yaitu utusan-utusan dari suku-suku Arab maupun para duta besar kerajaan-kerajaan lain. Hukum: tempat menyelesaikan masalah peradilan dan proses pengadilan. Ekonomi: tempat penyimpanan bait al-Mal (kas negara) guna membiayai segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraansosial umat Islam demi mewujudkan predikat Khaira Ummah (sebaik-baik Umat) dan Ummatan Wasatho (Umat yang Seimbang dan harmonis).

Fungsi Masjid dalam Membina Umat

Demi memfungsikan masjid sebagai media pembinaan umat, Rasulullah SAW melakukan berbagai program aksi sebagai berikut:

Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat pembinaan umat yang berkualitas. Menjadikan masjid sebagai tempat berhimpun umat setiap waktu. Para sahabat secara terus-menerus maupun bergiliran, mendengarkan dan menyimak wahyu Ilahi yang disampaikan oleh Rasulullah di dalam masjid Nabawi yang meliputi aqidah, perintah-perintah, larangan-larangan, petunjuk-petunjuk untuk melakukan sesuatu. Semua unsur-unsur ini bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan individu-individu umat baik di dunia maupun di akhirat.

Karakter pada sahabat (kaum Muhajirin dan Anshar) yang dibentuk oleh petunjuk rabbani ini adalah kualitas yang telah dipersiapkan secara matang oleh Rasululullah guna mendukung risalah yakni agama Allah (Islam). Mereka dipersiapkan menjadi kelompok Ansharullah (penolong-penolong agama Allah) seperti yang dituntut oleh Allah dalam QS. 61 (as-Shaf) ayat 14:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada para pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.

Kedua, Menjadikan masjid sebagai tempat berhimpun untuk melaksanakan ibadah, terutama shalat: shalat berjamaah lima kali sehari-semalam, shalat tahajjud dan shalat-shalat sunnah dan shalat jum`at. Sejarah Islam mencatat bahwa keberadaan masjid sebagai Islamic Center telah berhasil dalam membentuk kesatuan sosial umat yang kokoh. Kesatuan sosial yang berlandaskan wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah. Setiap saat, para sahabat patuh mengikuti komando pimpinan beliau. Kesatuan sosial umat Islam yang terbentuk lewat penyelenggaraan jamaah shalat di masjid Nabawi ini telah membentuk karakter umat menjadi pemberani, tangguh, kompak, cerdas, kuat mental dan fisik. Faktor-faktor inilah yang membuat umat Islam era Rasulullah menjadi umat yang tak terkalahkan dalam banyak peperangan.

Melalui masjid pula, Rasulullah membina persaudaraan di antara para sahabat yang melampaui ikatan suku dan darah, yang belum pernah dibayangkan sebelumnya oleh pribadi-pribadi selain Rasulullah. Suatu persaudaraan berdasarkan agama dimana masing-masing individu umat saling merasa senasib sepenanggunan. Ikatan persaudaraan yang disebut ummah inidicontohkan oleh jalinan hubungan kekeluargaan yang akrab antara Abdurrahman bin auf dengan Saad bin Rabi`. Saad dengan penuh rasa ikhlas bersedia membagi hingga separuh dari harta kekayaannya untuk diberikan kepada saudara angkatnya Abdurrahman bin auf. Saad juga menceraikan salah seorang diantara dua isterinya agar dapat dinikahi oleh Abdurrahman setelah berakhir masa iddah-nya. (Lihat, Imam Bukhari, Shahih Bukhari II, hal. 68-69; Muhammad al-Ghazali, 1953, hal. 141).

Kaum Anshar yang merupakan penduduk asli kota Madinah bersedia dan ikhlas menolong saudara-saudaranya kaum Muhajirin yang menderita dan sangat kekurangan. Keikhlasan kaum Anshar ini digambarkan dalam firman Allah Q.S. 59 (al-Hasyr) ayat 9:

Artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan yang telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin); dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Persaudaraan yang dibina oleh Rasulullah SAW dalam rangka menyusun masyarakat Islam terlukis dalam hadits beliau yang artinya:
“Orang-orang mukmin itu tampak dalam hal cinta-mencintai, saling berhubungan dan berkasih mesra satu sama lain adalah laksana badan yang satu atau organisme, (yang) apabila sakit salah satu anggotanya, maka semua bagian tubuhnya serentak mengadakan reaksi dengan tidak dapat tidur dan merasakan panas”. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Nu`man bin Basyir).

Dengan gambaran ukhuwwah seperti di atas, maka tumbuhlah hubungan persaudaraan yang kuat dan tangguh yang juga digambarkan dalam hadits lain:

Rasulullah SAW bersabdaP: “Sesungguhnya orang-orang mukmin satu denganlainnya adalah laksana bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Dab beliau menjalin jari-jemarinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy`ari)

Kesatuan perasaan dan tanggung jawab bersama yang demikian inilah yang menjadi semen perekat kesatuan sosial (Wahdatul Ummah) umat Islam yang menjadi kerangka struktur masyarakat yang Islami. Kesatuan sosial ini, dalam perkembangan sejarah, melahirkan kekuatan yang luar biasa, baik dalam bidang dakwah maupun dalam membela dan mempertahankan agama Islam dari gangguan dan serangan-serangan pihak-pihak yang tidak suka atau pihak yang memusuhi agama dan umat Islam secara fisik. Inilah gambaran singkat tentang umat Islam era Rasulullah yang memperoleh predikat sebagai “Ummatan Wasatho” dan “Khoiro Ummah” sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 143:

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), Ummatan Wasatho (umat yang adil dan terpilih) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) umat manusia dan agar Rasulullah (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu ….

Demikianlah proses terbentuknya persaudaraan ideal berdasarkan agama (ummah) yang terjalin dan terbina, terutama, melalui media masjid sebagai Islamic Center, dimana Rasulullah SAW dikelilingi oleh para sahabat yang telah mencapai derajat taqwa; para sahabat yang ikhlas menyertai kehidupan Rasulullah dalam suka dan duka. Jiwa mereka menjadi terang oleh Cahaya Ilahi yang selanjutnya menerangi dan membersihkan hati mereka. Hati yang bersih ini kemudian membimbing akal pikiran, panca indera dan semua anggota tubuh mereka untuk mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya.

Umat Islam binaan Rasulullah ini, yang merupakan umat generasi pertama, telah menjadi model terbaik dari hubungan ideal antar sesama manusia dalam panggung sejarah kemanusiaan yang mendapat banyak pujian dan mengundang banyak kekaguman dari para Sosiolog modern seperti Robert N. Bellah yang menyatakan bahwa struktur sosial dari umat Islam era Rasulullah adalah terlalu modern dan terlalu sempurna untuk masa itu. Sejarawan Philip K. Hitti, mengemukakan bahwa masyarakat baru yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar ini dibina berdasarkan ikatan agama yang disebut ‘Ummah Allah’ (Conggregation of Allah), yakni himpunan pemeluk agama Allah. Dalam sejarah Arab, inilah untuk pertama kalinya sebuah organisasi kemasyarakatan dibentuk berdasarkan agama, bukan berdasarkan keturunan (Hitti, 1951, hal. 120).

Pembinaan Umat

Setelah sukses membangun kelompok inti umat (kaum Muhajirin dan anshar) yang lebih merupakan konsolidasi internal, maka Rasulullah yang mempunyai visi jah ke depan (berkat petunjuk Allah) kemudian memperluas hubungan persaudaraan, mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama yang positif, memupuk saling pengertian, membangun aliansi demi mewujudkan interaksi sosial yang bersifat asosiatif-akomodatif dan dalam waktu bersamaan, menghindari konflik yang tidak perlu dengan berbagai lapisan masyarakat Madinah karena umat Islam yang baru terbentuk ini belum dapat dikatakan kuat jika pada saat itu menghadapi serangan (militer) dari kabilah-kabilah lain yang ada di Madinah. Langkah yang ditempuh Rasulullah ini sangat tepat dan strategis guna mewujudkan perdamaian dan persahabatan yang menjadi prinsip dasar bagi penyebaran agama Islam. Rasulullah SAW, pada tahap yang paling awal kehadiran di Madinah, ingin mewujudkan Islam sebagai agama perdamaian.

Sebelum hijrah Rasulullah beserta para sahabat ke Madinah, telah ada beberapa kabilah Yahudi dan kabilah-kabilah musyrikin lain yang telah lama menetap. Dua kabilah Yahudi yang paling besar populasinya dan kuat (infra struktur militernya) adalah Banu Quraidzoh dan Banu Qoinuqo`. Para Yahudi Arab ini memiliki keunggulan di bidang ekonomi dari hasil pertanian gandum dan kurma mereka yang melimpah yang mengisi banyak gudang-gudang pangan mereka sebagai cadangan makanan selama bertahun-tahun. Kesuksesan pertanian membuat mereka kaya secara materi sehingga dapat membangun citadel (kota benteng) yang tinggi dan kokoh, mampu membeli banyak peralatan miiter (pedang, tombak, dabbabah [pelempar bola api, cikal bakal tank modern], panah) dan sangat disegani oleh kabilah-kabilah lain yang ada di Madinah.

Rasulullah menjalin hubungan sosial dengan masyarakat Yahudi Madinah atas dasar persamaan hak dan kepentingan bersama, bersepakat untuk hidup berdampingan secara damai, saling menolong dan membela apabila musuh datang menyerang wilayah mereka bersama yaitu kota Madinah. Ajakan Rasulullah ini diterima dan disetujui oleh masyarakat Yahudi. Kesepakatan antara kedua belah pihak ini dituangkan dalam naskah perjanjian yang disebut Perjanjian yang disebut Perjanjian Madinah atau Piagam Madinah atau Pakta Madinah. (Syadzali, 1990, hal. 10).

Secara internal, Rasulullah selalu mengajak dan membimbing umat Islam di Madinah---melalui wahyu-wahyu Allah---agar bergaul dengan mereka yang tidak memerangi karena agama dan tidak mengusir mereka dari kampung halaman mereka, agar berbuat baik dan adil terhadap mereka (Q.S. (60) al-Mumtahanah ayat 8), tidak mencaci atau mencerca sesembahan orang yang menyembah kepada selain Allah (Q.S. (6) al-An`am ayat 106). Khusus terhadap ahli kitab, umat Islam diajarkan agar bertukar pikiran dan berdialog berdasarkan ilmu pengetahuan yang disampaikan dengan cara-cara yang patut. (Q.S. (29) al-Ankabut ayat 46), serta mengambil posisi setuju dalam perbedaan [agree in disagreement] (Q.S. (42) asy-Syura ayat 15).

Rasulullah SAW selama 13 tahun misi dakwahnya di Madinah, telah sukses membina mentalitas umat Islam sebagai pribadi-pribadi muslim yang berwawasan kemanusiaan (Q.S. (49) al-Hujurot, ayat 13) yang mampu menjadi inisiator perdamaian dan kedamaian dalam hidup berdampingan yang setara dengan pihak-pihak lain dalam satu wilayah. Proses pembinaan ini berlangsung melalui khutbah-khutbah jumn`at dan melalui wahyu-wahyu Allah yang menjelaskan apa saja langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menghadapi berbagai situasi.
Setelah ukhuwah Islamiah yang menjadi pondasi dasar ummat telah terbentuk, Rasulullah selanjutnya mengembangkan fungsi masjid secara lebih luas yaitu sebagai sentra perwujudan keadilan sosial, karena keadilan sosial merupakan sendi utama dari kesuksesan dalam membangun hubungan kemasyarakatan. Masyarakat akan menjadi makmur dan sejahtera apabila interaksi sosial yang berlangsung berlandaskan kepada prinsip keadilan sosial yang diterapkan kepada setiap warganya.

Rasulullah SAW dengan bimbingan wahyu Allah menerapkan prinsip keadilan sosial ini secara istiqomah dalam setiap aspek kehidupan ummat. Bahwa setiap individu ummat adalah sama di hadapan Allah. Yang membedakan mereka adalah kandungan taqwa dalam diri seseorang. Ada kaitan yang sangat kuat antara keadilan dengan sikap taqwa seseorang sebagaimana sebuah ayat yang menyatakan bahwa “al-Adlu Aqrobu Li at-Taqwa,” yang berarti bahwa sikap adil itu lebih mendekati ketaqwaan. Unsur-unsur duniawi seperti kekayaan harta, keturunan bangsawan, kebagusan fisik tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengistimewakan seseorang. Setiap individu umat adalah setara di hadapan Allah SWT.

Fungsi lain dari masjid yang berkaitan erat dengan prinsip keadilan sosial adalah pemberdayaan umat secara ekonomi demi mewujudkan kesejahteraan umat. Peran yang dikategorikan sebagai golongan ekonomi lemah, yaitu: kaum fakir, miskin, amil zakat dan shadaqah, muallaf, budak yang berusaha memerdekakan dirinya, dan anak-anak yatim (Q.S. (9) at- taubah: 60; QS (69) al-Haqqah: 25-37; QS. (107) al-Ma`un: 1-7). Dalam kaitan dengan pemberdayaan ekonomi umat, Rasulullah mendirikan Bait al-Mal di dalam lingkungan masjid Nabawi. Bait al-Mal ini dimaksudkan sebagai dana sosial milik umat Islam yang bersumber dari pengeluaran zakat dan infaq dari para individu ummat yang berkelimpahan harta. Dana sosial ini disamping digunakan untuk membantu mereka yang kekurangan juga untuk mendanai berbagai kepentingan umat dan negara seperti membeli persenjataan, membangun masjid, menyumbang dana pengobatan bagi yang sakit, menyantuni janda-janda yang menanggung anak-anak kecil karena suami-suami mereka mati syahid di medan pertempuran dan lain-lain. Jadi, masjid sebagai Islamic Center juga mengurusi ibadah sosial (horisontal) disamping ibadah vertikal (ibadah mahdoh).

3. Fungsi Masjid pada Zaman Mu`awiyah dan Dinasti Umayyah

Pada era Mu`awiyah berkuasa, terjadi pergeseran fungsi masjid. Sebagaimana telah diketahui bahwa pengangkatan Mu`awiyah sebagai Khalifah terjadi melalui akuisisi yang melengserkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah hingga menimbulkan kekisruhyan dan konflik politik yang hebat di kalangan umat Islam, dimana para pendukung Ali (cikal bakal kaum Syiah) berseteru dengan para pendukung Mu`awiyah. Konflik politik ini bertambah ruwet dengan munculnya golongan baru yang bernama Khawarij yang tidak merasa puas dengan sikap politik Ali yang dianggap lemah dan Mu`awiyah yang curang. Menurut Khawarij, kedua tokoh ini harus dibunuh. Konflik politik dengan skala luas ini merupakan fase sejarah paling sulit yang harus dilewati oleh mat Islam yang diwarnai oleh merajalelanya fitnah.

Setelah Mu`awiyah resmi menduduki jabatan Khalifah, maka masjid-masjid yang berada di wilayah kekuasaan Mu`awiyah digunakan sebagai tempat melancarkan propaganda politik yang bertujuan untuk melegitimasi kekhalifahan Mu`awiyah, mempengaruhi opini publik tentang program-program politik Mu`awiyah dan menyerang lawan-lawan politiknya. Bahkan khutbah-khutbah jum`at dan do`a-do`a yang terkandung di dalamnya, digunakan untuk mencerca dan melaknat Sayyidina Ali berikut keturunannya. Tindakan mencaci dan melaknat ini baru berhenti setelah Umar bin Abdul Aziz menjabat Khalifah.

Sebaliknya, masjid-masjid yang berada di bawah pengaruh kekuasaan kaum Syi`ah, digunakan untuk memuja-muja dan mengkultus individu-kan Ali bin Abi Thalib ra berikut keturunannya sekaligus juga untuk menjelek-jelekkan dan mengobarkan permusuhan kepada para penguasa dinasti Umayyah dan golongan Khawarij. Bahkan pernyataan permusuhan ini juga dikobarkan kepada sesama pengikut Syi`ah yang tidak sefaham dengan aqidah mereka.

Demikian pula dengan kelompok Khawarij, tidak kalah hebatnya dalam menggunakan masjid demi kepentingan propaganda politik sektarian (hizbiyyah) mereka dengan ungkapan terkenal: “Semua yang berbeda keyakinan dan faham dengan Khawarij berarti telah melakukan dosa besar dan oleh karena itu halal darahnya.

4. Fungsi Masjid pada Zaman Abbasiyah

Ada pergeseran fungsi masjid yang cukup signifikan dan sangat mendasar di era khilafah Abbasiyah yang mengakibatkan degradasi kualitas masjid sebagai Islamic Center dengan melucuti fungsi muamalah masjid (ibadah sosial). Semua kegiatan yang masuk dalam kategori muamalah ini dialihkan ke Istana. Istana Khalifah menjadi pusat baru yang menggantikan peran masjid yang sebelumnya menjadi pusat dari kegiatan-kegiatan muamalah ini. Akibatnya, masjid, sejak saat itu, hanya berfungsi sebagai pusat ibadah vertikal (mahdoh) saja. Fenomena ini menjadi semakin menguat ketika pijar peradaban Islam semakin memudar terutama sejak keklahan telak tentara-tentara Islam oleh pasukan Tartar yang membantai ribuan umat Islam dan membumihanguskan semua kreasi umat Islam yang berupa bangunan-bangunan berarsitekturkan Islam dan kitab-kitab keilmuan yang tersimpan baik di gedung-gedung perpustakaan maupun yang tersimpan di dalam rumah-rumah.

Akibat utama kekalahan ini adalah penekanan orientasi umat Islam pada hal-hal yang bersifat ukhrowi dan, sebaliknya, banyak meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan dan keterpesonaan terhadap dunia dianggap sebagai sumber malapetaka. Tumbuh subur gerakan spiritualisme berupa halaqoh (tekkia, padepokan) tashawuf dimana-mana yang tersebar di seluruh negeri bak cendawan di musim hujan. Umat Islam menenggelamkan diri dalam kehidupan beragama yang lebih intens dan khusyu` guna melupakan trauma mendalam kekalahan. Dalam konteks seperti inilah, urusan-urusan yang termasuk dalam muamalat dipindahkan dari masjid ke istana Khalifah. Semenjak saat itu dan masa-masa setelahnya selama beberapa generasi, terbentuklah tradisi yang semakin lama semakin bertambah kuat bahwa masjid itu hanya berfungsi sebagai tempat ibadah vertikal saja terutama ibadah shalat.

Dengan ditinggalkannya fungsi masjid sebagai pusat muamalah, maka umat Islam kehilangan lembaga keagamaan yang menjadi pusat pembinaan umat secara menyeluruh.

5. Fungsi Masjid pada Zaman Dinasti Fathimiyah
Ada perkembangan baru fungsi masjid di era dinasti Fathimiyah ini bahwa disamping sebagai tempat ibadah, masjid juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan Islam sebagaimana telah berlangsung selama ratusan tahun di masjid al-Azhar di Kairo (Qohiroh) Mesir.

Masjid al-Azhar didirikan oleh Jawhar al-Katib al-Sikilli (berasal dari kata Shoqliyyah-Sicilia, ed.)ats-Tsa`labi---seorang jenderal dari Abu Tamim Ma`ad---setahun setelah kaum Fathimiyah menduduki Mesir. Masjid ini mulai difungsikan sebagai tempat ibadah dalam bulan Ramadhan tahun 361 H/Juni-Juli 972 M.

Dalam perkembangan sejarahnya, pemerintahan Aziz Nizar (976-996 M) dari dinasti Fathimiyah telah mendirikan badan wakaf guna menjamin kelestarian penyelenggaraan ibadah dan menjadikan masjid ini sebagai perguruan tinggi tempat menimba ilmu serta membangun pemondokan (khawaniq) untuk tempat tinggal para mahasiswa yang kurang mampu.

Pada tahun 1266-1267, Sultan Mamluk az-Zahir Baybars (yang menaklukkan pasukan Mongol dalam pertempuran Ain Jaluth [Mata Air Goliath] di Galilea dan menjadi pahlawan Islam internasional) menambah bangunan pada masjid al-Azhar sebagai persiapan untuk membangun sebuah perguruan tinggi Islam. Masjid mengalami penambahan fungsi baru yakni sebagai pusat pendidikan Islam. Cendekiawan-cendekiawan muslim termasyhur di dunia Islam, mendidik para mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru kota-kota Islam dengan mengambil tempat di sudut-sudut masjid. Masjid al-Azhar menjadi pusat pembelajaran baik ilmu-ilmu tradisional Islam (misalnya, Ushuluddin, Syari`ah, Tarikh Adab al-Lughoh) maupun ilmu-ilmu modern seperti fisika, kedokteran, astronomi dan lain-lain. Penambahan bangunan berupa gedung-gedung terus berlangsung seiring dengan jumlah mahasiswa yang semakin banyak. Sejarah dunia mencatat bahwa al-Azhar merupakan perguruan tinggi tertua di muka bumi ini.

Masjid al-Azhar juga menorehkan sejarah emas sebagai masjid yang digunakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1169-1193) guna mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW secara besar-besaran dalam rangka menggalang dan membangkitkan kembali semangat jihad melawan tentara salib dan membebaskan Jerusalem dari cengkeraman tentara Nasrani (terutama bangsa Frank, Perancis dan bangsa Anglo-Saxon, Inggris).

5. Fungsi Masjid Pada Zaman Wali Songo
Para Wali Songo menjadikan masjid sebagai pusat ibadah, pusat pendidikan, dan sekaligus pusat penyebaran Islam. Adalah Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang paling senior di kalangan wali songo, mendirikan masjid sederhana---di sebuah tanah perdikan bernama Ampel Denta, yang dibangun sekitar pertengahan abad XV Masehi---yang menjadi pusat ibadah dan pusat pendidikan Islam yang merupakan cikal bakal pondok pesantren sekarang ini. Sejarah mencatat bahwa banyak santri dari berbagai penjuru Nusantara (terutama Indonesia Timur) menimba ilmu di pondok pesantren ini. Beberapa santri alumni yang terkenal diantaranya adalah Sunan Giri (Gresik), Sunan Bonang (Tuban), Sunan Drajat (Lamongan), dan Sunan Muria (Gunung Muria). Para santri yang juga dikenal sebagai bagian dari wali songo ini, meneruskan ajaran guru mereka dengan mendirikan masjid sebagai pusat ibadah maupun sebagai pusat pendidikan (pesantren). Tradisi ini (masjid sebagai pusat ibadah dan pesantren) kemudian menyebar ke seluruh penjuru pulau Jawa: Demak, Semarang, Cirebon, Banten, dan terus menyebar bersama dengan menyebarnya para keturunan dan santri-santri alumni dari para wali tersebut.

Kesuksesan dakwah Islamiah para wali songo ini terbukti dengan kemunculan beberapa pondok pesantren termasyhur pada sekitar abad XVII yaitu: Pesantren Tegal Sari (Kyai Hasan Besari, Ponorogo), Pesantren Termas di Pacitan, Pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo, dan Pesantren Sidosermo di Wonokromo, Surabaya.

Tradisi menjadikan masjid sebagai pusat ibadah dan pesantren sekaligus ini, mengutip K.H. Abdurrahman Wahid, telah menimbulkan fenomena budaya baru yang bernuansa Islami di tengah-tengah kebudayaan Jawa. Masjid dan pesantren menjadi sub-kultur atau salah satu varian yang memperkaya budaya Jawa.

7. Fungsi Masjid pada Zaman Mataram Islam
Terdapat dua kebijakan mendasar yang saling berbeda terhadap umat Islam (Wong Selam, Wong Putihan) dalam masa pemerintahan kerajaan Mataram Islam yang merentang panjang mulai abad XVII hingga abad XIX.

Ketika Mataram mencapai puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Agung (1613-1646 M), ada perhatian besar terhadap umat Islam termasuk masjid di dalamnya. Sultan Agung, dalam menjalankan politik kerajaannya yang sangat ekspansif, menerapkan konsep magis-religius yang menyatakan bahwa Raja adalah warana (utusan Allah) di bumi ini yang menjadi satu-satunya mediator tunggal yang menghubungkan manusia (jagad cilik) dengan Tuhan. Bahwa sang Raja adalah manusia sakti (tidak terkalahkan). Implikasi dari penerapan konsep magis-religius ini adalah bahwa segala keputusan sang raja tidak dapat ditentang, bahwa kekuasaan raja adalah tanpa batas dan semua keputusannya merupakan kehendak Tuhan. (Lihat, Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, pen. Gramedia, Jkt., 1988, cet. III, hal. 98-99).

Dalam konteks Jawa Mataram, kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahiyang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Bahwa pada diri sang Raja-lah terjadi pemusatan kekuatan adikodrati ini dan agar dapat mengakses energi Ilahiah dalam jumlah yang lebih besar lagi, maka Sultan Agung berupaya menjalin hubungan baik dengan para elit agama Islam---Waliyullah, kyai, guru agama---karena mereka memiliki tingkat spiritual yang tinggi atau memiliki energi Ilahiah yang sangat melimpah agar dapat mengesahkan dan melegitimasi kekuasaan Raja. Dengan demikian, sang Raja memperoleh tambahan sejumlah besar energi Ilahiah yang dapat membuat dirinya menjadi lebih sakti dan agar sang Raja menjadi lebih berwibawa di mata rakyatnya.

Untuk kepentingan inilah, Sultan Agung membina hubungan baik dengan tokoh-tokoh agama Islam dengan memberikan privilese sosial, budaya, politik-ekonomi, dan agama kepada mereka: meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dengan tidak memberi beban berbagai macam pajak, melestarikan desa-desa perdikan (yaitu desa yang pada penghuninya membedakan diri karena menjalankan kehidupan beragama Islam secara ketat yang didukung oleh infra struktur keagamaan berupa lembaga pesantren, tarekat, masjid dan atau makam para wali), memberi rung gerak politik yang lebih besar dibandingkan dengan mayoritas rakyat pada umumnya, dan relatif bebas dari penetrsi politik sang raja. (Lihat, Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Java: A Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century, (New York: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, 1981, Revised Edition, page 111-113).

Lebih dari itu, sang Raja bahkan menyempatkan diri meninggalkan singgasananya untuk mengunjungi para waliyullah seperti Sunan Giri, Sunan Kali Jaga, Sunan Kudus, Sunan Tembayat untuk meminta dawuh, ngalap berkah, dan penambahan kesaktian serta berziarah ke makam-makam para wali.

Bahkan untuk pertama kalinya, seorang Raja Jawa Mataram bergelar Sultan (bukan Susuhunan yang merupakan gelar tertinggi, sebagaimana banyak digunakan oleh raja-raja Jawa) yang merupakan gelar resmi para penguasa kerajaan Islam. Agar dapat memperoleh dan menggunakan gelar “Sultan”, maka Sultan Agung meminta izin kepada penguasa kerajaan Usmaniah (Ottoman) di Istanbul, Turki. Banyak cara telah ditempuh oleh Sultan Agung agar dapat merebut dan menampung energi Ilahiah sebanyak-banyaknya dengan bekerja sama dengan para tokoh-tokoh umat Islam.

Perhatian besar Sultan Agung terhadap agama Islam, di lingkungan keraton Mataram, tercermin dalam birokrasi pemerintahannya berupa abdi dalem pametakan, yaitu priyayi-santri yang bertugas memberi saran dan nasihat agama kepada Raja. Juga tradisi keraton Mataram yang mengirimkan anak-anak para priyayi tinggi ke pondok pesantren melahirkan adanya saling interaksi yang kuat dan saling mempengaruhi secara positif antar kedua belah pihak.
***
Hubungan baik antara Keraton Mataram dengan umat Islam berakhir ketika Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M) bertahta. Di bawah kepemimpinannya, terjadilah suksesi besar-besaran dalam tubuh keraton dan yang paling dramatis adalah pembantaian sadis terhadap para kyai dan ulama agama Islam yang berjumlah sekitar 5.000 jiwa, atas perintah langsung Amangkurat I (Lihat, H.J. De Graaf, “Disintegrasi Mataram di bawah Amangkurat I”, Pustaka Grafiti Pers dan KITLV, Jkt., 1987 cet. I, Jld. I, hal. 37-9).

Sejak pemerintahan Amangkurat I hingga kerajaan Mataram terpecah menjadi tiga berdasarkan perjanjian Gianti (Kasunanan, Paku Alaman, dan Mangkunegaran), posisi umat Islam menjadi semakin marjinal terutama secara politik, ekonomi dan agama. Umat Islam dilucuti hak-hak ekonomi dan hak-hak politiknya serta dibatasi ruang gerak keagamaannya di lingkungan keraton. Marjinalisasi umat Islam secara politik terjadi ketika banyak kaum santri yang di lengserkan dari berbagai jabatan di lingkungan birokrasi keraton Mataram dan berubah statusnya menjadi wong cilik yang tidak memiliki hak politik agalagi sebagai pembuat keputusan politik (decision maker).

Marjinalisasi umat Islam secara ekonomi berlangsung ketika terjadi perubahan profesi umat Islam dari profesi sebagai prajurit, pedagang dan perajin beralih profesi menjadi petani sawah dan buruh, Jika dulu pada zaman kejayaan umat Islam di abad 15 dan 16, banyak individu umat Islam yang menjadi saudagar baik lokal maupun antar pulau dan memiliki berbagai ketrampilan untuk membuat benda-benda kerajinan, kini mereka berubah profesi menjadi petani atau buruh tani dengan tingkat ekonomi subsisten.

Pengembangan agama Islam di lingkungan keraton yang pada zaman Sultan Agung berlangsung semarak, kini mengalami kemandegan. Bersamaan dengan itu, terjadi banyak penyusupan ajaran-ajaran kebatinan Jawa. Agama Islam di-kejawen-kan. Kaum santri yang taat menjalankan ibadahnya, disorot tajam dan dicurigai. Kegiatan-kegiatan keagamaan di dalam masjid menurun secara drastis. Masjid dibiarkan kosong tanpa kegiatan keagamaan. Yang lebih parah adalah masjid diubah citranya dari funsi Baitullah menjadi sekadar bangunan dengan kegiatan-kegiatan agama kejawen yang kental dengan muatan syirik.

8. Masjid di Era Kerajaan-Kerajaan Islam Jawa Abad 15 dan 16

Abad 15 dan 16 merupakan masa kejayaan umat Islam di seluruh kepulauan Nusantra, terutama di pulau Jawa. Di sepanjang pesisir utara Jawa bermunculan vassal-vassal, Majapahit yang Islam. Aliansi vassal-vassal Islam inilah dibawah pimpinan dan komando dari kerajaan Demak, berhasil menumbangkan sisa-sisa kekuatan terakhir kerajaan Majapahit. Kemunculan dan kelahiran kerajaan Islam Demak ini tidak terlepas dari sistem pemerintahan Majapahit yang menerapkan otonomi penuh kepada vassal-vassalnya dengan kompensasi berupa pembayaran pajak dan upeti. Ketika Majapahit mengalami pelemahan kekuatannya secara besar-besaran, baik akibat konflik internal maupun karena perang yang berlarut-larut dan berkepanjangan dengan berbagai kerajaan di Nusantara maupun di wilayah Mancanegara, pada saat yang tepat inilah vassal-vassal Majapahit ini kemudian dapat membebaskan diri dan bahkan berhasil mengambil alih supremasi politik di pulau Jawa ini. Kerajaan Demak Islam dapat dilihat sebagai puncak konsolidasi kekuatan vassal-vassal ini.

Banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan umat Islam dalam mendirikan kerajaan Islam ini: faktor ekonomi, politik, dan sosial-budaya.

Dapat dipastikan bahwa penyebaran Islam yang paling awal di bumi Nusantara, termasuk pulau Jawa, ini dilakukan oleh para saudagar muslim yang berasal dari wilayah Gujarat India dan Persia pada abad XIII masehi. Kegiatan bisnis para saudagar ini disertai pula dengan kegiatan dakwah Islam kepada rekan-rekan bisnis mereka maupun kepada para penduduk pesisir utara pulau Jawa yang yang mereka singgahi. (Lihat, Van Leur, Indonesian Trade and Society, KITLV, Foris Publication, 1983, Holland/USA hal. 112) (Lihat juga, H.J. De Graaf, Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Grafiti Pers, Jkt., 1989, cet. III, hal. 18).

Dapat dikatakan bahwa interaksi sosial yang pertama kali berlagsung antara para saudagar muslim dengan masyarakat pesisir utara Jawa pada masa itu adalah melalui saluran ekonomi. (Van Leur, Ibid.). Kontak pertama di bidang ekonomi tersebut menghasilkan komunikasi antar budaya, pertemuan tradisi-tradisi dan nilai-nilai sosial yang berbeda. Ternyata bahwa setting sosial-budaya masyarakat pesisir tersebut sangat kondusif terhadap berbagai nilai dan tradisi asing, sehingga terjadilah proses akulturasi dan asimilasi budaya yang bercirikan hubungan sosial yang akomodatif. (Lihat, G.W.J. Drewes, Indonesia: Mysticism and Activism in Unity and Variety in Muslim Civilization, dalam Gustave E. Von Grunebaum (ed.) (terj.), Yayasan Obor, Jkt., 1983, cet. I, hal. 325).

Situasi sosial-budaya yang kondusif di atas ditandai oleh sikap kosmopolit dan egalitarian dari para saudagar muslim. Sikap di atas dapat ditelusuri dari tradisi setiap saudagar yang sering melakukan interaksi sosial dengan mitra bisnis mereka dan banyak mengadakan perjalanan antar daerah dan antar pulau. Di lain pihak, masyarakat pesisir utara Jawa juga menunjukkan sikap fleksibel terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam konteks seperti inilah Islam pertama kali menyebar di pulau Jawa. (Lihat, Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, Jkt., hal. 28.)

Bahwa penyebaran Islam yang begitu cepat dapat ditemukan sebab-sebabnya pada penekanan agama Islam akan sikap egalitarian, yang ternyata, sesuai dengan kebutuhan komunitas pesisir waktu itu. Sebagaimana diketahui bahwa komunitas pesisir utara Jawa pada saat itu adalah mayoritas menganut agama Hindu.

Faktor lain yang sangat mendukung adalah penerapan sistem kasta dalam ajaran agama Hindu, yang telah berurat berakar selama ratusan tahun, terutama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam konteks agama Hindu, sistem kasta adalah suatu pola stratifikasi sosial yang berdasarkan kelhiran dan oleh karena itu bersifat tertutup sehingga tidak memungkinkan adanya mobilitas vertikal dari setiap individu dalam struktur sosial tersebut. Pada titik inilah, ajaran agama Islam yang sangat egalitarian dapat dikatakan sebagai pembebas dan pendobrak kebekuan strata sosial, dan sebagai pembuka saluran stratifikasi sosial yang tersumbat, sehingga memungkinkan adanya gerak horizontal maupun vertikal. (Lihat, W. F. Wertheim, Indonesian Society In Transition: A Study of Social Change. W. Van Hoeve LTD., The Hague, 1956, Bandung, hal. 296).

Penerimaan masyarakat pesisir utara Jawa terhadap Islam sebagaimana dipaparkan di atas membawa berbagai perkembangan positif. Penyebaran Islam melalui saluran ekonomi, dengan jalan damai, juga proses akulturasi dan asimilasi budaya, merupakan beberapa indikator bahwa komunitas saudagar muslim tersebut semakin mendalam memasuki relung-relung kehidupan dan semakin terlibat dalam proses interaksi sosialnya dengan masyarakat pesisir utara Jawa.

Keberhasilan proses ekonomi dan proses sosial budaya para saudagar muslim, secara langsung, telah memberikan fasilitas-fasilitas sosial-budaya dan peran baru yaitu peran politik.

Penaklukan terhadap Majapahit pada tahun 1527 M., menjadikan wong selam, demikian sebutan terhadap penganut islam pada waktu itu, berkuasa secara ekonomi dan politik, berkuasa atas proses-proses produksi dan saluran-saluran politik yang ada; wong selam menjadi penentu dan pembuat kebijakan (decision maker). (Lihat, B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Selected Writings of B. Schrieke, W. Van Hoeve LTD, The Hague, Bandung, 1955, Chapter One, Part One).

Beberapa akibat yang timbul dari keadaan di atas adalah ekspansi ekonomi Islam, yang menghasilkan jaringan ekonomi internasional dan suasana yang lebih kondusif bagi penyebaran agama Islam. Akibat penting lain adalah terjadi diferensiasi peran yang semakin beragam dari wong selam, mulai dari peran Raja, Priyayi tinggi (keluarga raja, Ndoro), wong dagang, dan wong cilik (rakyat jelata).

Supremasi politik dan ekonomi umat Islam di pesisir utara Jawa ditambah dengan interaksi sosial yang harmonis, hubungan sosial yang akomodatif, fleksibilitas budaya yang sangat lentur dari masyarakat pribumi, secara langsung membuat agama Islam dengan mudah diterima terutama oleh kalangan rakyat jelata (paria dan sudra) yang terkungkung oleh sistem kasta agama Hindu selama ratusan tahun. Agama Islam menyebar dengan begitu pesat dan sangat mencengangkan berdasarkan pijakan–pijakan kokoh sosial-budaya, politik dan ekonomi.

Dalam kondisi seperti ini, dimulailah pembangunan masjid-masjid dan berduyun-duyunlah para muallaf---terutama yang berasal dari kasta terendah (paria dan sudra), memasuki rungan masjid dan berlomba-lomba menempati barisan shaf terdepan! Sebuah pemandangan yang sangat indah dimana para muallaf itu mendirikan shalat berjamaah bersama-sama: berdiri sama tinggi, ruku` sama sejajar dan bersujud sama rendah. Para muallaf ini tidak pernah membayangkan sedikitpun bahwa mereka akan dapat duduk secara berdampingan, bahkan membelakangi pula, di dalam ruangan masjid, dengan saudara-saudara seiman yang berstatus pedagang, priyayi, majikan, dan pejabat pemerintahan lokal. Para muallaf ini merasakan betapa nikmatnya hidup di dunia ini dalam kedudukan yang setara dan sederajat di hadapan Allah yang diukur atas dasar tingkat taqwa mereka kepada Allah. Betapa bersinar cerah wajah mereka membayangkan bahwa mereka juga bisa menjadi pedagang, perajin, atau prajurit kerajaan jika mereka kehendaki dan sungguh-sungguh berupaya ke arah itu.

Sejak abad XVI M inilah, dapat dikatakan, bahwa pembangunan masjid-masjid di pesisir utara Jawa berlangsung dengan pesat. Tumbangnya kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara maupun di wilayah mancanegara seperti di India telah membuat masyarakat pesisir utara Jawa yang Hindu menjadi kehilangan akar dan tidak lama kemudian terjadilah arus perpindahan agama secara besar-besaran dari agama Hindu ke agama Islam yang berlangsung secara sangat halus. Dapat dikatakan bahwa pembangunan masjid ini berbanding lurus dengan proses akulturasi budaya yang sangat kuat dalam meresapi dan mewarnai proses berbudaya masyarakat pesisir seperti dalam kegiatan-kegiatan slametan, nyadran, ruwatan, dan lain-lain. Juga, proses akulturasi Jawa telah melahirkan bangunan-bangunan masjid yang berarsitekturkan Jawa-Hindu yang merefleksikan filosofi Jawa tentang hubungan antara manusia dengan Allah. Beberapa contoh dari bangunan berarsitekturkan Jawa-Hindu ini adalah pendirian soko guru-soko guru, bentuk atap joglo, menara masjid yang mirip bentuk pura dan lain-lain. Jadi pembangunan masjid yang berlangsung pesat merupakan bentuk paling murni dari pengakuan budaya dan agama Islam oleh masyarakat pesisir utara Jawa-Hindu.

Memang, Islam yang pertama kali dikenal dan dipraktikkan di tanah pesisir utara Jawa ini mengandung muatan mistik (tashawwuf0 yang kental yang dibawa oleh para saudagar Gujarat-Persia, karena wilayah Persia dan India, pada saat itu, menjadi pusat tashawwuf dan banyak melahirkan gerakan-gerakan tashawwuf (Tarekat). Jadi, ajaran Islam yang dikembangkan telah melewati “saringan” tashawwuf. Islam mistik inilah yang menghasilkan sikap luwes dalam proses penyebaran agama Islam dengan penerapan syariah yang longgar dan tidak ketat.

Jadi pembangunan masjid yang berlangsung dengan pesat di awal penyebaran agama Islam di wilayah pesisir utara Jawa memperoleh dukungan yang sangat kuat dari proses budaya yang tengah berlangsung dan dari masyarakat pesisir yang menjadi pendukung utama budaya Jawa.

Di pihak lain, masyarakat pesisir utara Jawa pada saat itu adalah juga masyarakat dengan perhatian besar terhadap mistik, maka terjadilah perbauran dua corak mistik, mistisisme Gujarat-Persia dengan mistisisme Jawa, yang menghasilkan perpaduan khas dan unik yang tidak ada tandingannya dalam sejarah penyebaran agama Islam di belahan dunia manapun!

9. Masjid Dalam Era Penjajahan VOC dan Belanda

Masjid mengalami banyak perlakuan diskriminasi, reduksi dan pembatasan fungsi-fungsinya, yang diterapkan secara ketat dan sistematis selama 3 abad dalam cengkeraman penjajah Belanda. Demikian pula dengan nasib lembaga pendidikan Islam yaitu pondok pesantren dan lembaga tarekat yang merupakan pengembangan dan perluasan masjid sebagai Islamic Center, seringkali dicurigai dan diawasi secara sangat ketat oleh penjajah Belanda karena dianggap sebagai sumber dan pusat perlawanan wong cilik terhadap pemerintah Hindia-Belanda.

Upaya diskriminasi dan pembatasan fungsi-fungsi masjid sebagai Islamic Center ini pertama kali terjadi ketika Amangkurat I (1646-1677) dinobatkan sebagai raja menggantikan Sultan Agung. Kecenderungan diskriminasi ini terus berlanjut dan bahkan menjadi bertambah parah ketika pulau Jawa dikuasai oleh penjajah Belanda. Pada awalnya, penjajah Belanda (baca: VOC) cenderung bersikap hormat dan membiarkan begitu saja kegiatan-kegiatan keagamaan umat Islam. Bahkan para pejabat VOC waktu itu menganggap dan menyamakan Sunan Giri di Gresik sebagai ”Paus van Java” karenamenduga Islam sebagai sebuah organisasi keagamaan yang mirip dengan agama Katholik di Eropa. Namun sikap hormat ini secara perlahan-lahan berubah menjadi sikap otoriter dan menindas.

Perubahan sikap penjajah Belanda ini terutama dipicu oleh berbagai pemberontakan rakyat yang terjadi, baik di Jawa, dengan meletusnya perang Diponegoro tahun 1825-1830, maupun berlangsungnya perang Aceh. Kedua perang dahsyat ini, yang banyak menguras habis energi fisik-mental dan pembiayaan finansial serta paling banyak menelan korban jiwa serdadu-serdadu Belanda, telah memaksa Pemerintah Dalam Negeri Hindia Belanda, Binnenland Bestuur, untuk membuka mata lebar-lebar dan mulai mengadakan studi dan penelitian yang mendalam dan serius terhadap hal-ihwal umat Islam.

Untuk kepentingan ini, maka Pemerintah Hindia-Belanda mengadakan kerjasama dengan Universitas Leiden Belanda agar mengirimkan beberapa pakar antropologi, ilmu bahasa, dan sejarah ke Hindia-Belanda guna mengetahui dan mendalami baik segi ajaran Islam maupun konteks sosiologis dan politis yang melingkupinya. Yang paling fenomenal dan jenius diantara para pakar ini adalah Christiaan Snouck Hurgronje yang secara jenius berhasil melacak dan menemukan sumber-sumber kekuatan umat Islam dan kemudian memotong saluran-salurannya sehingga umat Islam kemudian menjadi tidak berdaya.

Studi mendalam yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje terhadap umat Islam, terutama di Jawa, telah membawanya pada satu kesimpulan strategis bahwa sumber kekuatan Islam di Nusantara adalah kota Mekkah al-Mukarromah. Kota Mekkah menjadi inspirasi utama bagi umat Islam Jawa dalam melakukan syiar Islam. Selanjutnya, untuk dapat lebih memahami titik strategis kota Mekkah dan mengamati perilaku para komunitas Jawa yang bermukim disana, maka Snouck Hurgronje menyusupkan dirinya untuk bermukim di kota suci Mekkah selama kurang lebih dua tahun dengan nama samaran Abdul Ghafur hingga menghasilkan sebuah buku penting “Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century” yang memuat banyak informasi penting yang dibutuhkan oleh pemerintah Hindia Belanda agar dapat menaklukkan umat Islam dengan mudah. Dalam salah satu bagian tulisan, Hurgronje menggambarkan pengaruh strategis kota Mekkah:

... disinilah terletak jantung dari kehidupan agama kepulauan Nusantara, dan saluran yang memompakan darah segar dari daerah ini dengan kecepatan meningga kepada seluruh penduduk Islam di Indonesia. Disinilah terletak hulu jaringan kumpulan-kumpulan tarekat di Jawa, dari sini mereka memperoleh bacaan-bacaan yang dipergunakan di tempat-tempat pendidikan agama, disini pula ... mereka turut serta dalam kehidupan dan usaha-usaha Pan-Islam. (Dikutip dari Prof. DR. Deliar Noer, “Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942, pe., LP3ES, Jkt., 1991, cet. Vi, hal. 30).
Snouck Hurgronje telah menemukan fakta bahwa kota Mekkah telah memberi pengaruh yang sangat signifikan dalam menumbuh-kembangkan semangat kebangkitan keagamaan dan kesadaran politis akan semangat anti penjajahan negara-negara Islam oleh para penjajah Eropa yang kafir.

Kota Mekkah telah menyediakan fasilitas-fasilitas keagamaan, politik dan sosial-budaya bagi kaum santri yang melaksanakan ibadah haji, terutama bagi mereka yang bermukim, yang dikenal dengan sebutan komunitas Jawa. Mereka mengalami semacam “Arabisasi”, mengadopsi nilai-nilai peradaban Arab-Islam, menghayati sepenuhnya suasana kota Mekkah pada masa itu yang diwarnai oleh renaissance di bidang agama dan politik. (Lihat, Sartono Kartodirdjo, The Peasant`s Revolt of Banten in 1888: It`s Condition, Course, and Sequel, KITLV-`S. Gravenhage-Martinus Nijhoff, Singapura, 1966, hal. 156).

Renaissance di bidang keagamaan ini ditandai dengan kemunculan gerakan Wahabi yang menghendaki usaha-usaha pemurnian agama Islam dari berbagai bid`ah yang menyetasatkan. Hal ini dimanifestasikan dengan permberlakuan Syari`ah secara ketat dan pengkajian Fiqh yang sangat intens.
Sedangkan renaissance di bidang politik diwarnai oleh pertumbuhan dan perkembangan kesadaran politik ummat Islam, menyadari bahwa negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara sedang dijajah oleh negara-negara Barat. Kesadaran politik ini pada gilirannya, menimbulkan solidaritas ummah yang mewujud pada gerakan Pan-Islam. Pengertian Pan-Islam adalah penyatuan seluruh dunia Islam dibawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang Khalifah. Pada masa Usmani Muda, yaitu masa golongan inteligensia Kerajaan Turki berusaha mengunakan Pan-Islam untuk menyatukan seluruh ummah Islam dibawah kerajaan Usmani. (Lihat, H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken, pen. LP3ES, Jkt., 1985, cet. I, hal. 180).

Singkat kata, Snouck Hurgronje merupakan tokoh utama dibalik penerapan politik Islam oleh pemerintah Hindia-Belanda dan yang paling berjasa besar dalam upaya menjinakkan, meredam, dan melemahkan kekuatan umat Islam sehingga pemerintah Hindia Belanda dengan mudah memadamkan berbagai pemberontakan yang timbul di kalangan umat Islam. Ia telah menulis ribuan halaman yang mengisahkan seluk-beluk umat Islam dengan sangat rinci dan melaporkannya kepada pemerintah Hindia-Belanda!

Sebenarnya, inti dari penerapan politik Islam ini adalah melucuti ajaran-ajaran agama Islam yang mengandung muatan-muatan politik, melarang dan menangkap khatib-khatib Jum`at yang menyuarakan, menyebarkan pesan-pesan politik dan mengobarkan semangat jihad Islam. Melarang pengajian umum yang bersifat massif karena dianggap upaya konsolidasi dan komunikasi politik. Sebaliknya, pemerintah Hindia-Belanda lebih menekankan praktik-praktik ajaran Islam yang bersifat murni ibadah mahdoh yang hanya mengandung muatan fiqh ibadah. Upaya penjajah Belanda untuk mereduksi ajaran Islam hanya pada ajaran agama yang murni urusan fiqh ibadah saja merupakan upaya pembodohan umat Islam dan terbukti cukup efektif dalam meredam berbagai potensi gejolak yang bersifat laten.

Untuk mengawasi, memata-matai dan menerapkan politik Islam ini, maka Pemerintah Hindia-Belanda melahirkan kebijakan birokratisasi agama dengan mengangkat penghulu-penghulu agama (yang berasal dari golongan priyayi). Birokratisasi agama, salah satunya melalui pengangkatan penghulu agama ini adalah bentuk intervensi langsung penjajah Belanda yang lebih besar yaitu politiek Divide et Impera yang kemudian melahirkan kebijakan politik pribumi (Inlandsch Politiek) yang pada intinya adalah menjalankan pemerintahan secara tidak langsung (Indirect rule) dengan cara mengangkat dan menggaji Bupati (Gupernemen) dengan memberi mereka identitas baru, legitimasi baru dan wewenang baru untuk memerintah rakyat mereka demi kepentingan penjajah Belanda. Tanah jajahan Hindia-Belanda dijadikan sebagai “Negara Pegawai” (Beambtenstaat), yang berlaku baik bagi orang-orang Belanda (Bestuurs-Beambten=Gubernur-Jenderal, Residen, Asisten Residen, dan Controleur) maupun para penguasa pribumi (Pangreh Praja=Bupati, Wedana, Asisten Wedana dan Kepala Desa). (Lihat, M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: Century 1300 to the Present, Singapore: Souteast Asian Reprint, Published by The Macmillan Press LTD, 1982, hal. 106), (Lihat juga, Prof. DR. Sartono Kartodirdjo, et. Al., Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1987, hal. 13-14).

Jadi, penerapan birokratisasi agama, pada intinya, adalah upaya pembatasan ruang gerak keagamaan, dan sosio-politik umat Islam oleh penjajah Belanda dengan cara memperalat para penguasa pribumi (Pangreh Praja) melalui politik Pemerintahan Tidak Langsung (Indirect Rule). Politik Indirect Rule inilah yang membuat penjajah Belanda memperoleh predikat “jenius” dari rekan-rekan penjajah lain seperti Spanyol, Portugis dan Inggris.

Berikut ini adalah beberapa perincian tentang peraturan manajemen masjid yang termaktub dalam Bijblad No. 13390, 12573, 1741, 1980, 12726, dan 14419. Bijblad-bijblad ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. Bupati-bupati di Jawa dan Madura wajib mendaftarkan masjid-masjid yang didalamnya diadakan khutbah Jum`at di daerah yurisdiksinya masing-masing.
2. Penyelesaian perselisihan tentang khutbah Jum`at;
3. Pendirian masjid harus memperhatikan peraturan-peraturan mengenai pendirian bangunan-bangunan (gedung-gedung);
4. Penyelenggaraan khutbah tidak perlu izin, tetapi harus memberitahukan kepada Penghulu Kawedanan;
5. Bantuan berupa uang untuk pendirian atau perbaikan masjid dari pemerintah hanya diberikan dalam keadaan yang luar biasa;
6. Perintah (kepada Bupati dan pejabat pemerintah di bawahnya) untuk melakukan pengawasan terhadap kas-kas masjid untuk menjamin tidak ada penyimpangan dalam penggunaannya.


Sedangkan fungsi sehari-hari masjid pada masa penjajahan Belanda adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tempat melaksanakan shalat lima waktu dan shalat Jum`at dengan khutbah di dalamnya serta penyelenggaraan shalat Idul Fitri dan Idul Qurban dengan kewajiban memohon izin setiap kali pelaksanaannya;
2. Sebagai tempat untuk melakukan tabligh-tabligh sekalipun itu sulit dilaksanakan;
3. Sebagai tempat menyelenggarakan pernikahan (seperti KUA) yang dilakukan oleh penghulu-penghulu di ibu kota kecamatan, kawedanan, dan kota;
4. Sebagai tempat peradilan agama (priesterraad yang kemudian diubah menjadi Penghulu-gerecht).
******


MANAJEMEN MASJID

Manajemen Keteladanan

Pembahasan tentang manajemen masjid dalam buku ini mendasarkan diri sepenuhnya pada teladan kehidupan Rasulullah. Bahwa semua aspek kehidupan Rasulullah---sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, politik---sangat layak untuk dijadikan sebagai pedoman bagi umat Islam sekarang dalam menjalankan segala aktivitas mereka di dunia ini.

Menarik untuk diungkap bahwa banyak dari teladan hidup Rasulullah ini yang dapat dijadikan sebagai tema-tema besar manajemen modern seperti: pemimpin yang kharismatis, strategi berbisnis, menjalin komunikasi yang baik, memimpin dengan hati, visi (Ilahiah), misi (Ibadah), kekuatan fokus (dalam menganalisa dan bertindak), mengelola waktu, memacu motivasi, penetapan target, need of achievement, dan masih banyak lagi. Singkat kata, Rasulullah adalah seorang pemimpin dan manajer jenius sehingga dapat mentransformasi masyarakat Arab dari keadaan jahiliah (rusak hati, mental, dan moral) menjadi masyarakat Islami yang berakhlak mulia, berhati bening, dan bermental baja. Sebaliknya banyak prinsip-prinsip manajemen modern yang terinspirasi oleh spiritualitas Islam seperti: istiqomah (konsistensi), niat (tindakan yang bertujuan), menang tanpo ngasorake (win-win solution), tawakkal (mengantisipasi perubahan yang serba tidak pasti), khusnuzzon (berpikir positif).

Kunci sukses manajemen kehidupan yang diterapkan oleh Rasulullah adalah: spiritualitas, yaitu kedekatan hubungan dengan Allah sehingga Allah mendekatkan semua makhluk-Nya kepadanya. Rasulullah hanya mengabdi kepada Allah sehingga Allah menjadikan semua makhluk-Nya mengabdi kepadanya. Rasulullah hanya tunduk kepada Allah sehingga Allah menjadikan semua makhluk-Nya
tunduk kepadanya. Rasulullah hanya mencintai Allah sehingga Allah menjadikan semua makhluk-Nya mencintai Rasulullah. Demikian seterusnya.

Telah banyak diketahui bersama bahwa sebagian besar kehidupan Rasulullah berada dalam lingkungan masjid, disamping bertempat tinggal di dalam lingkungan masjid, beliau juga sering berada di dalam ruangan masjid jika tidak ada kegiatan penting yang membuatnya keluar dari lingkungan masjid, dan menjadikan masjid sebagai pusat dakwah, pusat ibadah (mahdoh maupun ghoiru mahdoh), pusat kegiatan umat, pusat pendidikan dan pembinaan umat, pusat peradilan, pusat komando militer, pusat informasi, pusat konsultasi, pusat rehabilitasi mental, pusat zikir, dan masih banyak lagi yang lain. Dengan menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan umat, maka semua kegiatan umat yang bersifat duniawi ditundukkan pada kepentingan-kepentingan akhirat, semua kegiatan duniawi umat dapat di-Islam-kan.

Dalam kalimat lain, masjid menjadi poros dunia, masjid menjadi pilar spiritual yang menyangga kehidupan duniawi umat. Masjid mencerminkan seluruh aktivitas umat, masjid menjadi pengukur dan indikator dari kesejahteraan umat baik lahir maupun batin. Dengan demikian, tidak adanya masjid dalam sebuah wilayah yang berpenduduk agama Islam menjadi isyarat negatif akan adanya disorientasi kehidupan umat. Atau sebaliknya, ada masjid di tengah penduduk muslim, akan tetapi tidak digunakan sebagai pusat kehidupan umat. Dalam dua situasi ini, umat akan mengalami kebingungan dan menderita berbagai penyakit mental dan fisik serta tidak dapat menikmati distribusi aliran cahaya dan energi Allah.

Rasulullah selalu berdakwah kepada umatnya dengan menunjukkan keteladanan beliau dalam setiap ucapan dan tindakannya. Sebagai utusan Allah yang menjadi satu-satunya referensi umat, beliau menjadi tempat bertanya bagi umatnya, baik di dalam masjid maupun di kediamannya. Beliau menerapkan kebijakan “open house” kepada umatnya kapan saja dibutuhkan dengan tidak membeda-bedakan usia, jenis kelamin, nasab dan jabatan. Rasulullah memperlakukan umatnya secara adil dan egaliter.

Setiap kali selesai mengimami shalat lima waktu, beliau selalu membalikkan punggungnya menghadap kepada para jamaah guna mengetahui situasi terakhir umatnya. Jika salah seorang umat tidak ikut berjamaah shalat, maka Rasulullah bertanya kepada para makmum, apa yang terjadi dengannya, apakah sedang sakit, bepergian atau terjadi halangan lain. Jika menderita sakit, maka Rasulullah menyempatkan diri untuk menjenguknya dan menggembirakannya.

Cinta Rasulullah kepada umatnya, jauh melebihi cintanya kepada isteri-isterinya. Bahkan jika dicermati, sedikit sekali perhatian dan waktu Rasulullah yang dicurahkan kepada para isterinya atau keluarganya karena waktu luang beliau banyak tersita untuk umat. Tidak ada waktu istirahat yang pasti bagi Rasulullah, mengingat betapa antusias para anggota umat untuk bertemu Rasul mereka. Sering terjadi, apabila beberapa angota umat mengalami masalah dan kesulitan, maka pertemuan mereka dengan Raslullah, melihat wajah dan senyum Rasulullah saja sudah sangat menghibur mereka dan mencairkan masalah-masalah mereka. Ini membuktikan betapa terang sinar cahaya Allah dalam diri Rasulullah, betapa deras dan berlimpah cahaya Allah dalam diri Rasululah sehingga dapat menerangi kegelapan di sekitarnya, karena masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan bersumber dari kegelapan (hati) sehingga apabila berhadapan dan berdekatan dengan Rasulullah yang merupakan “manusia cahaya” (Insan Kamil), maka semua masalah dan kesulitan tersebut, dengan izin Allah, menjadi sirna seketika.


Cinta Rasulullah adalah cinta murni yang bukan berasal dari dunia fana ini, melainkan cinta Ilahiah, yang berasal dari alam Malakut, yang melihat umat bukan dari kaca mata hawa nafsu (ego) tapi berdasarkan rasa belas kasihan yang sangat agar umatnya selalu berada dalam lindungan Allah dan memperoleh hidayah-Nya. Rasulullah sering diliputi kekhawatiran akan nasib umatnya dan menangis ketika mendo`akan umatnya agar diberi keselamatan, hidayah, taufiq dan ridho Allah dalam menempuh kehidupan dunia ini. Ini merupakan penerapan manajemen kasih sayang Rasulullah kepada umatnya yang terbukti dapat melunakkan dan bahkan meluluhkan hati sekeras batu karang sebagaimana yang pernah dimiliki oleh Umar bin Khaththab sebelum memeluk agama Islam.

Ciri utama dari cinta Ilahiah dari Rasulullah ini adalah semakin disebar dan didistribusikan cinta Ilahiah ini kepada semakin banyak individu-individu umat, maka semakin cinta Ilahiah ini memancarkan keindahannya, semakin menunjukkan kekuatannya. Sebaliknya, jika cinta Ilahiah ini dikerangkeng dan dibatasi hanya kepada isteri-isteri dan anak-anaknya sendiri, maka cinta Ilahiah ini, justeru akan semakin melemah dan meredup sinarnya.

Manajemen kasih sayang (cinta) yang diterapkan Rasulullah, secara gemilang berhasil menciptakan suasana umat Islam yang solid, kompak, harmonis, saling menyayangi satu sama lain, satu rasa, dalam suka dan duka sebagaimana sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa permisalan umat Islam adalah bagaikan sebuah tubuh yang jika salah satu anggotanya sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain akan ikut merasakan sakitnya juga. Inilah hakikat dari ukhuwwah Islamiah yaitu suatu persaudaraan spiritual, persaudaraan yang melampaui kepentingan-kepentingan (bisnis, politik, budaya) keluarga, keturunan, kelompok, etnis dan bangsa; persaudaraan yang dijalin oleh umat yang merupakan kumpulan manusia-manusia bercahaya (Munawwar Bi Nurillah).

Jika saja umat Islam modern sekarang ini dapat mewarisi ukhuwwah Islamiyyah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana telah diterapkan dalam zaman Rasulullah, maka umat Islam akan mengalami perkembangan dan peningkatan kualitas secara pesat sehingga bukan saja dapat berdiri tegak sejajar dengan umat-umat beragama lain, bahkan dapat melampaui mereka sebagaimana telah terbukti dalam sejarah masa lalu umat Islam.

Umat Islam binaan Rasulullah selama periode Madinah ini adalah sekumpulan individu-individu yang telah mencapai kualitas hati yang bening (karena disinari oleh cahaya Allah), sebuah hati yang hanya diisi oleh Allah semata. Tidak ada satu makhluk (anak, isteri, orangtua, dll.) pun yang “sempat menginap” di dalam ruang hati mereka. Hati mereka telah mencapai derajat tauhid tingkat tinggi. Hati yang telah mencapai kualitas tertinggi ini, “hanya” dapat bersikap ikhlas, tawakkal, qonaah, sabar, zuhud, khouf, malu (untuk bermaksiat) dalam menjalankan semua aktivitas duniawi demi mengharapkan ridho Allah. Inilah yang disebut dengan menjalankan kehidupan berdasarkan manajemen qalbu dimana Allah menganugerahi umat berupa hati yang tenang (muthmainnah) dan peka, kecerdasan spiritual (mudah memperoleh hidayah Allah), kecerdasan emosi (interaksi sosial yang berdasarkan akhlak yang mulia), kecerdasan akal (mudah memperoleh inspirasi), kecerdasan fisik (fisik yang kuat dan lentur, terampil berolahraga dan olah gerak lainnya), dan kreatif.

Jadi, umat Islam generasi pertama ini membentuk sebuah kesatuan spiritual, kesatuan sosiologis, kesatuan politis, kesatuan ekonomis, dan kesatuan psikologis yang tunduk dan patuh pada hukum-hukum syari`ah. Soliditas umat ini dicapai terutama dengan prestasi-prestasi spiritual umat yang meneladani kehidupan spiritual Rasululah. Prestasi-prestasi spiritual umat ini merupakan produk langsung dari penerapan manajemen keteladanan, manajemen kasih sayang dan manajemen qalbu terhadap semua aspek kehidupan dunia.


Manajemen Qalbu: meraih hidayah Allah

Pembahasan tentang qalbu (hati) menjadi sangat strategis dan vital dalam penerapan manajemen masjid yang ideal karena qalbu menjadi pusat diri manusia, qalbu menjadi media “pertemuan” antara seorang hamba dengan Tuhannya. Kualitas hubungan antara sang hamba dengan Allah ditentukan oleh sejauhmana kebersihan dan kesucian hatinya. Hanya dengan hati yang bersih dan suci-lah seorang hamba dapat meraih hidayah Allah. Hati yang bersih dan suci hanya dapat dicapai melalui shalat dan dzikrullah dan masjid adalah rumah Allah yang berfungsi sebagai pusat dzikir sehingga menjadi penting pula penanganan manajemen masjid yang berimplikasi pada kualitas kehidupan umat.
Bahwa manajemen kehidupan umat Islam bersumber dari manajemen masjid. Semakin berkualitas manajemen masjid yang diterapkan, maka semakin berkualitas pula manajemen kehidupan dari masyarakat pendukung masjid tersebut.

Berawal dari kehidupan spiritual-ukhrowi, yang berpusat di masjid, yang mencerahkan semua aspek kehidupan sang hamba Allah. Dunia materi sang hamba yang fana ini menjadi ajang pembuktian anugerah rahmat dan hidayah Allah kepada hamba-Nya. Hamba Allah ini akan membuktikan tahap demi tahap, putaran demi putaran kehidupan pribadinya betapa Allah Menyayangi, Melindungi dan Membimbingnya dalam setiap langkah, ucapan dan tindakannya dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini.

Hidayah adalah seberkas cahaya Allah yang menyinari hati (qalbu) manusia. Jika manusia yang memperoleh hidayah Allah, maka ia akan beroleh bimbingan-Nya dan kemudahan dalam menjalani kehidupan dunia ini. Hidayah Allah ini diterima oleh manusia melalui hatinya. Hati manusia adalah media kontak antara manusia dengan Allah. Syarat utama agar manusia dapat meraih hidayah Allah adalah dengan membersihkan hatinya dari kemungkinan berbagai kotoran yang melekat pada hati, yang diakibatkan oleh perbuatan dosa dan maksiat. Selama hati manusia dipenuhi oleh kotoran, maka ia tidak akan memperoleh hidayah Allah.

Cara terbaik dan tercepat untuk membersihkan hati dari kotoran adalah dengan istiqomah mendirikan shalat dan memperbanyak dzikrullah, serta di sisi lain, berbuat baik kepada makhluk Allah. Shalat dan dzikrullah (termasuk membaca al-Qur`an) serta perbuatan baik kepada makhluk ini merupakan makanan utama hati yang bergizi tinggi yang dengan cepat dapat membersihkan kotoran-kotoran yang melekat di hati manusia. Jika ini dilakukan secara istiqomah, maka manusia itu, cepat atau lambat, akan dapat meraih hidayah Allah. Berhubung hidayah Allah itu tidak dapat diprediksi kapan datangnya, maka yang dapat dilakukan oleh manusiaadalah ber-istiqomah mendirikan shalat , dzikrullah dan berbuat baik kepada makhluk. Semua itu hendaknya dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa kecuali ridho Allah, semakin ikhlas seseorang dalam ibadah shalat dan perbuatan baiknya, maka akan semakin cepat dapat meraih hidayah Allah.

Ketika hati telah menjadi bersih dari kotoran, barulah dimungkinkan seorang hamba itu menerima hidayah Allah. Sebaliknya, tidak mungkin bagi seorang manusia yang berhati kotor dapat memperoleh hidayah Allah karena banyak perbuatannya berdasarkan pada hawa nafsu (ego)-nya. Ketika hati telah menerima hidayah Allah, maka Allah akan memberikan anugerah-anugerah–Nya yang lain kepadanya. Dalam kalimat lain, perolehan hidayah Allah adalah berarti juga meningkatnya kesadaran spiritual (Ilahiah) seorang hamba. Ia telah melampaui kehidupan duniawinya dalam kehidupan di dunia ini.

Demi penataan dan pengelolaan manajemen masjid yang ideal, maka dibutuhkan partisipasi dan keterlibatan hamba-hamba Allah yang memiliki kualifikasi-kualifikasi spiritual seperti ber-taqorrub kepada Allah, bersikap zuhud (dari dunia), ikhlas, tawakkal, dan lain-lain. Beberapa kualifikasi ini, idealnya, dicapai oleh para hamba Allah yang menerima amanat untuk memakmurkan masjid karena prestasi amal soleh dan akhlakul karimah mereka dan karena kebersihan hati mereka dari berbagai kotoran dan penyakit hati. Pada intinya, para takmir masjid adalah para pemuncak spiritual dalam suatu masyarakat pendukung masjid yang berupaya meneladani kepribadian yang hanif dan Islami dari takmir masjid pendahulu mereka yaitu Nabi Ibrahim Kholilullah dan Muhammad Rasulullah yang telah sukses memakmurkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sehingga menjadi dua masjid ideal sepanjang masa yang dijadikan pedoman bagi para takmir masjid di seluruh dunia.

Berdasarkan beberapa ayat al-Qur`an dan kajian yang cermat dari sejarah hidup dua tokoh teladan di atas tentang pendirian dan pengelolaan masjid ideal yang berbasis iman dan taqwa, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para takmir masjid:

Pertama, Perolehan hidayah Allah. Hendaknya para takmir masjid yang dibentuk sebagai para wakil terpilih dari sebuah masyarakat pendukung masjid, mengupayakan perolehan hidayah Allah terlebih dahulu dan yang paling utama tentang lokasi berdirinya sebuah masjid, dengan cara mendirikan shalat hajat secara berjamaah dengan tujuan memohon hidayah Allah dengan keyakinan bahwa Allah akan memberi hidayah-Nya kepada hamba-hambanya yang memohon petunjuk. Jika syarat ini tidak dipenuhi (misal: hanya melalui rapat dan musyawarah saja), dikhawatirkan penentuan lokasi masjid yang akan dibangun, hanya berlandaskan pada hawa nafsu (ego) dari para takmir. Sebagaimana telah diketahui luas bahwa Allah memberi hidayah kepada Nabi Ibrahim dengan membimbing langkah beliau (beserta Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi) menuju tanah Hijaz dan membangun Ka`bah disana. Demikian pula, Allah memberi hidayah kepada Muhammad Rasulullah ketika pertama kali tiba di kota Madinah, melalui untanya Quswa, tentang penetapan lokasi masjid Nabawi. Terbukti bahwa perolehan hidayah Allah dalam penetapan lokasi dan pembangunan kedua masjid di atas menjadi langkah awal sekaligus pemicu bagi perolehan hidayah-hidayah dari Allah yang menyusul kemudian.

Jika Ibrahim dan Muhammad SAW jelas-jelas merupakan dua Rasul Allah yang telah mendapat jaminan hidayah dari Allah, maka para takmir masjid di zaman modern ini, yang belum jelas mendapat hidayah Allah, perlu memohon hidayah kepada Allah dengan cara mendirikan shalat Hajat dan shalat Istikharah misalnya.Syarat pertama ini menunjukkan bahwa manajemen masjid ideal berbasis hidayah inilah yang akan melahirkan komunitas umat berbasis spiritual (Spiritual Based Community). Perolehan hidayah ini menunjukkan bahw semua pihak yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan masjid benar-benar menjadi hamba-hamba (budak-budak pembantu rumah Allah) yang tidak mempunyai kehendak dan kekuatan sendiri, melainkan hanya menjalankan kehendak Allah semata. Allah mencintai hamba-Nya yang benar-benar menunjukkan ke-hamba-annya di muka bumi ini.

Hendaknya, perolehan hidayah Allah, tidak hanya diterapkan pada penentuan dan pendirian lokasi masjid, tetapi juga diupayakan pada penentuan dan pemilihan para takmir masjid yang akan dilibatkan dalam manajemen masjid baru ini. Perolehan hidayah juga diupayakan pada penentuan dan penetapan rencana-rencana pemakmuran masjid ke depan yang berupa program-program jangka pendek, jangka menengah dn jangka panjang. Para takmir yang memperoleh hidayah ini akan memiliki visi (Ilahiah) yang menembus jauh ke masa depan yang tidak akan dapat diperhitungkan secara pasti oleh manusia-manusia dengan rasio paling cerdas sekalipun. Hanya waktu yang akan membuktikan betapa hidayah Allah itu benar adanya. Jadi, salah satu sifat hidayah Allah adalah mendahului zaman.

Kedua, Takmir masjid ideal adalah yang full-timer, profesional, otonom, yang seluruh misinya dalam mengelola masjid adalah beribadah (=mengabdi) kepada Allah.

Full-Timer. Takmir masjid yang ideal adalah yang mengabdikan hidupnya untuk kemakmuran Baitullah. Ini merupakan tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun di banyak negara Muslim. Pengabdian seumur hidup kepada Allah dengan cara memelihara, merawat dan mengelola Baitullah ini mendasarkan diri pada hakikat masjid sebagai pusat realitas dan pusat dunia umat Islam dimana seluruh masjid disini bukan hanya sekadar mengurusi ibadah mahdoh saja atau ibadah dalam arti sempit. Lebih luas lagi, tugas yang sangat menantang dari takmir masjid ini adalah menjadikan dunia ini sebagai Islamic Center dengan cara mengusung dan memindahkan kegiatan-kegiatan duniawi ke dalam lingkungan masjid sehingga kegiatan-kegiatan duniawi tersebut mendapatkan sentuhan syariah dan secara spiritual, dapat menerima aliran cahaya Allah. Dengan demikian, di dalam lingkungan masjid, bukan hanya terdapat kegiatan-kegiatan ibadah mahdoh dan ghoiru mahdoh saja dalam artian yang sempit, tetapi juga mencakup dan menyerap profesi-profesi baru yang bermunculan di zaman modern ini seperti profesi jasa konsultan manajemen bisnis, manajemen spiritual, lembaga ekonomi kerakyatan (koperasi), Lawyer, Notaris, Trainer SQ (Spiritual Quotient=Kecerdasan Spiritual), EQ (Emotional Quotient), IQ (Intelligence Quotient) PQ (Physical Quotient) dan Skills (Keterampilan-keterampilan). Pada intinya, semakin banyak profesi-profesi modern yang diintegralkan di dalam lingkungan masjid, maka akan menjadi semakin ideal masjid tersebut.

Manajemen Modern

Pada dasarnya, manajemen dalam arti kegiatan perseorangan atau kelompok (organisasi) telah ada sejak manusia mulai mengenal pola kehidupan menetap (tidak nomaden) di sebuah tempat---dengan ciri utama kegiatan pertanian---yang menandai awal peradaban umat manusia dalam kehidupan di dunia ini. Manajemen yang diterapkan pada masa tersebut masih sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman, maka kehidupan umat manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sehingga membutuhkan manajemen yang canggih pula. Manajemen berkembang mengikuti perkembangan mengikuti perkembangan sebuah masyarakat. Manajemen merupakan produk dan cermin dari sebuah masyarakat tertentu dalam sebuah wilayah. Jika bentuk masyarakatnya sederhana, bersifat homogen, berorientasi paguyuban, tradisi lisan yang masih kental, pola hubungan primer, maka situasi sosial semacam ini akan tercermin dalam manajemen yang diterapkan. Sebaliknya, jika sebuah masyarakat bersifat sangat kompleks dalam arti seluruh unsur-unsur di dalamnya saling kait-mengkait (sehingga menghasilkan berbagai konflik), tingkat heterogenitas yang tinggi, pola hubungan berdasarkan kepentingan (profesi), tradisi tulis-menulis yang kuat, pola komunikasi sekunder (melalui telepon, internet), maka corak manajemen yang diterapkan akan mengalami pencanggihan pula. Peran-peran dan fungsi-fungsi sosial yang baru sebagai hasil dari perubahan masyarakat melahirkan kebutuhan-kebutuhan baru yang beragam sehingga menuntut pola manajemen yang berbeda-beda pula. Dapat dikatakan, bahwa tidak ada definisi final tentang manajemen karena ia senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.

Meskipun demikian, terdapat beberapa prinsip manajemen yang telah baku dan tetap sifatnya. Arti sederhana manajemen menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah merencanakan, mengelola, mengurus, memimpin dan membimbing. Sedangkan timbulnyakegiatan perencanaan, pengelolaan, kepemimpinan itu karena adanya tujuan bersama yang ingin dicapai.

Maka pengertian manajemen secara umum adalah kegiatan perencanaan, pengelolaan, pengendalian dengan mengunakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tersedia guna mencapai tujuan. Dengan pengertian seperti ini, maka manajemen telah memasuki seluruh aktivitas manusia dan berkembang sesuai dengan spesifikasi atau ciri masing-masing.

Di dalam sebuah masyarakat, kita mengenal berbagai macam manajemen seperti: manajemen perusahaan, manajemen transportasi, manajemen keuangan, manajemen sekolah, manajemen perkantoran, manajemen perbankan, manajemen waktu, manajemen rumah sakit, manajemen dakwah, manajemen masjid, dan lain-lain.
***
Guna memahami manajemen masjid
llllllllll